Pers nasional dan nasionalisme pers
Thursday, February 26, 2009
Pers nasional dan nasionalisme pers
Oleh L a u n a
Bagaimana kita mendudukan sejarah pers nasional dalam konteks nasionalisme Indonesia? Benarkah pers nasional memberi kontribusi penting dalam pembentukan ideologi nasionalisme Indonesia? Amir Effendi Siregar (Pers Mahasiswa: Patah Tumbuh Hilang Berganti, 1983) dan Francois Raillon (Ideologi Mahasiswa Indonesia, 1992), dua pakar yang mengulas tentang sejarah pertumbuhan pers mahasiswa Indonesia menunjukkan, bahwa pencarian identitas nasionalisme tumbuh seiring dengan kehadiran pers nasional yang dikelola para mahasiswa dan tokoh-tokoh pergerakan, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Tesis bahwa rancang bangun nasionalisme Indonesia didirikan dari tradisi olah pikir yang cerdas dan bermutu bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa seluruh tokoh kunci pergerakan yang berperan penting dalam pembentukan nasionalisme Indonesia juga adalah tokoh-tokoh pers ternama. Dimulai dengan Mas Tirto Adhi Suryo, seorang perintis pers nasional dan pemimpin redaksi Medan Prijaji, yang terbit pertama kali di Bandung pada 1907. Medan Prijaji tak hanya memberi corak baru bagi hadirnya faham kebangsaan melalu jalan pers, namun ia juga memberi koridor bagi munculnya lusinan pers nasional yang hadir untuk memperkuat gagasan nasionalisme Indonesia.
Berikutnya, HOS Tjokroaminoto yang dikenal sebagai salah satu ‘guru pergerakan’ adalah pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa yang banyak mengulas ide-ide dasar nasionalisme Indonesia. ‘Tiga Serangkai’ (Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr Tjipto Mangunkusumo) juga menukangi De Express, koran yang dikenal kritis terhadap kejahatan sistem kolonial. Sebelum berkonsentrasi ke dunia pendidikan (Taman Siswa), Ki Hadjar juga dikenal sebagai pemimpin redaksi Persatoean Hindia dan majalah Pemimpin. Dalam usia 18 tahun, Semaun sudah memimpin Sinar Djawa (kemudian berubah menjadi Sinar Hindia). Sementara SM Kartosuwiryo adalah reporter dan redaktur iklan di harian Fadjar Asia.
Selanjutnya, Ir Soekarno adalah kolumnis sekaligus pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra”jat. Semasa studi di negeri Belanda, Mohammad Hatta adalah pemimpin redaksi majalah Indonesia Merdeka; media yang menjadi corong perjuangan Perhimpunan Indonesia (PI), organ mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. Sepulang dari Belanda, Hatta (dibantu Sutan Sjahrir) mendirikan sekaligus menakhodai harian Daulat Ra”jat. Sementara Amir Sjarifuddin adalah pemimpin redaksi Banteng, penerbitan yang dikelola Partindo.
Kendati tingkat pendidikan mayoritas rakyat saat itu masih terbilang rendah, namun para tokoh pergerakan Indonesia sadar bahwa jalan pers adalah medium strategis dalam mengartikulasikan ide-ide nasionalisme, selain melalui pemogokan dan mimbar pertemuan. Dengan pers pula, pesan dan gagasan nasionalisme menjadi wacana politik dan isu publik yang begitu kuat memompa kesadaran rakyat. Pada sisi lain, jalan pers ternyata memiliki tingkat aksesibilitas tinggi dan cakupan luas, terutama dalam mengartikulasikan asa kemerdekaan di kancah internasional.
Jalan pers dalam konteks pembentukan negara-bangsa sesungguhnya menunjukkan bahwa sejarah politik kita pernah memiliki masa ketika gagasan dan argumen diolah dalam tradisi literasi yang berkualitas. Abad 20 sebagai periode ‘pencerahan’dimana manusia dan nilai-nilai kemanusiaan begitu diagungkanÑmembumi di Indonesia masa pergerakan dengan hadirnya sebuah kesadaran etik, bahwa meretas kemerdekaan tidak harus dengan jalan adu fisik, namun bisa juga dengan jalan yang lebih terhormat dan humankind: mencerdaskan otak rakyat sebagai investasi, modal, dan energi kolektif kita sebagai bangsa untuk menuai cita-cita kemerdekaan kelak.
Keinginan para tokoh pergerakan Indonesia untuk menggunakan jalan pers sebagai penebar benih-benih kesadaran dan pencerdasan rakyat tak bisa dilepaskan dari ikhtiar serius mereka untuk membangun demokrasi, keadilan sosial, dan penghargaan terhadap HAM. Periode itu seperti hendak menunjukkan bahwa sebelum kita sebagai bangsa sanggup merebut kemerdekaan dan mengelola kedaulatan politik, rakyat harus dididik untuk menghargai kemerdekaan berfikir dan menyampaikan pendapat sebagai bagian penting dari penghormataan atas hak-hak individual mereka sebagai warga negara. Di sini, jalan pers yang dipilih para tokoh pergerakan menjadi peneguh tradisi demokrasi rakyat (civil liberties) dalam sebuah peradaban politik kolonial.
Jalan pers sesungguhnya adalah pilihan rasional (rational choice) tentang bagaimana sebuah kebudayaan politik dan tradisi demokrasi dibangun di negeri ini. Jalan pers adalah sebuah pentas aktivitas demokrasi paling elegan dimana prinsip-prinsip dasar demokrasi (kebebasan, keadilan, persaudaraan, dan kemanusiaan) hadir bersamaan dengan proses pembentukan watak bangsa (nation and character building).
Lalu, bagaimana dengan wajah pers nasional kita saat ini? Mengutip Agus Sudibyo (2008), jika pada masa Orde Baru, wajah pers dalam perspektif ekonomi-politik mediaÑlebih terlihat sebagai perpanjangan tangan negara (state centrism), maka pasca 1998 institusi pers lebih terlihat dalam coraknya yang market centrism. Konsep market centrism berangkat dari asumsi bahwa era regulasi negara telah berakhir seiring tampilnya era regulasi pasar. Dalam perspektif ini, negara tak lagi menjadi faktor determinan dalam kehidupan media, namun hukum pasarlah yang menjadi penentu karakter ruang publik media di Indonesia. Dengan kata lain, wajah pers dalam konteks dinamika ekonomi-politik media era reformasi lebih tepat disebut berwatak kolaboratif: berciri market regulation sekaligus state regulation.
Problemnya, berbagai tren dan kasus menunjukkan, era ‘kebebasan pers’ (free press) dalam sebuah konstruksi ‘pers industrial’ (free market) ternyata tak mampu memfasilitasi berbagai aspirasi publik untuk berperan efektif dalam sebuah ruang media yang demokratis; di luar tarikme-narik kepentingan negara dan pasar.
Di era pers berwatak idustrial saat ini, kita tak lagi bisa menemukan watak nasionalisme dalam wajah pers nasional. Mayoritas pers dan industri media penyiaran saat ini nyata telah terkontaminasi oleh watak banal negara dan tabiat predatorik pasar. Pers, kini menghadapi kesulitan serius untuk bertahan dalam sebuah ruang idealisme di antara kepungan negara dan pasar. Peran pers sebagai pilar demokrasi keempat terlihat makin samar. Pers industrial tampaknya lebih enjoy hadir dalam wajahnya yang dilematis, dangkal, artifisial, sloganistis, dan demagog. (waspada)
Bagaimana kita mendudukan sejarah pers nasional dalam konteks nasionalisme Indonesia? Benarkah pers nasional memberi kontribusi penting dalam pembentukan ideologi nasionalisme Indonesia? Amir Effendi Siregar (Pers Mahasiswa: Patah Tumbuh Hilang Berganti, 1983) dan Francois Raillon (Ideologi Mahasiswa Indonesia, 1992), dua pakar yang mengulas tentang sejarah pertumbuhan pers mahasiswa Indonesia menunjukkan, bahwa pencarian identitas nasionalisme tumbuh seiring dengan kehadiran pers nasional yang dikelola para mahasiswa dan tokoh-tokoh pergerakan, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Tesis bahwa rancang bangun nasionalisme Indonesia didirikan dari tradisi olah pikir yang cerdas dan bermutu bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa seluruh tokoh kunci pergerakan yang berperan penting dalam pembentukan nasionalisme Indonesia juga adalah tokoh-tokoh pers ternama. Dimulai dengan Mas Tirto Adhi Suryo, seorang perintis pers nasional dan pemimpin redaksi Medan Prijaji, yang terbit pertama kali di Bandung pada 1907. Medan Prijaji tak hanya memberi corak baru bagi hadirnya faham kebangsaan melalu jalan pers, namun ia juga memberi koridor bagi munculnya lusinan pers nasional yang hadir untuk memperkuat gagasan nasionalisme Indonesia.
Berikutnya, HOS Tjokroaminoto yang dikenal sebagai salah satu ‘guru pergerakan’ adalah pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa yang banyak mengulas ide-ide dasar nasionalisme Indonesia. ‘Tiga Serangkai’ (Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr Tjipto Mangunkusumo) juga menukangi De Express, koran yang dikenal kritis terhadap kejahatan sistem kolonial. Sebelum berkonsentrasi ke dunia pendidikan (Taman Siswa), Ki Hadjar juga dikenal sebagai pemimpin redaksi Persatoean Hindia dan majalah Pemimpin. Dalam usia 18 tahun, Semaun sudah memimpin Sinar Djawa (kemudian berubah menjadi Sinar Hindia). Sementara SM Kartosuwiryo adalah reporter dan redaktur iklan di harian Fadjar Asia.
Selanjutnya, Ir Soekarno adalah kolumnis sekaligus pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra”jat. Semasa studi di negeri Belanda, Mohammad Hatta adalah pemimpin redaksi majalah Indonesia Merdeka; media yang menjadi corong perjuangan Perhimpunan Indonesia (PI), organ mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. Sepulang dari Belanda, Hatta (dibantu Sutan Sjahrir) mendirikan sekaligus menakhodai harian Daulat Ra”jat. Sementara Amir Sjarifuddin adalah pemimpin redaksi Banteng, penerbitan yang dikelola Partindo.
Kendati tingkat pendidikan mayoritas rakyat saat itu masih terbilang rendah, namun para tokoh pergerakan Indonesia sadar bahwa jalan pers adalah medium strategis dalam mengartikulasikan ide-ide nasionalisme, selain melalui pemogokan dan mimbar pertemuan. Dengan pers pula, pesan dan gagasan nasionalisme menjadi wacana politik dan isu publik yang begitu kuat memompa kesadaran rakyat. Pada sisi lain, jalan pers ternyata memiliki tingkat aksesibilitas tinggi dan cakupan luas, terutama dalam mengartikulasikan asa kemerdekaan di kancah internasional.
Jalan pers dalam konteks pembentukan negara-bangsa sesungguhnya menunjukkan bahwa sejarah politik kita pernah memiliki masa ketika gagasan dan argumen diolah dalam tradisi literasi yang berkualitas. Abad 20 sebagai periode ‘pencerahan’dimana manusia dan nilai-nilai kemanusiaan begitu diagungkanÑmembumi di Indonesia masa pergerakan dengan hadirnya sebuah kesadaran etik, bahwa meretas kemerdekaan tidak harus dengan jalan adu fisik, namun bisa juga dengan jalan yang lebih terhormat dan humankind: mencerdaskan otak rakyat sebagai investasi, modal, dan energi kolektif kita sebagai bangsa untuk menuai cita-cita kemerdekaan kelak.
Keinginan para tokoh pergerakan Indonesia untuk menggunakan jalan pers sebagai penebar benih-benih kesadaran dan pencerdasan rakyat tak bisa dilepaskan dari ikhtiar serius mereka untuk membangun demokrasi, keadilan sosial, dan penghargaan terhadap HAM. Periode itu seperti hendak menunjukkan bahwa sebelum kita sebagai bangsa sanggup merebut kemerdekaan dan mengelola kedaulatan politik, rakyat harus dididik untuk menghargai kemerdekaan berfikir dan menyampaikan pendapat sebagai bagian penting dari penghormataan atas hak-hak individual mereka sebagai warga negara. Di sini, jalan pers yang dipilih para tokoh pergerakan menjadi peneguh tradisi demokrasi rakyat (civil liberties) dalam sebuah peradaban politik kolonial.
Jalan pers sesungguhnya adalah pilihan rasional (rational choice) tentang bagaimana sebuah kebudayaan politik dan tradisi demokrasi dibangun di negeri ini. Jalan pers adalah sebuah pentas aktivitas demokrasi paling elegan dimana prinsip-prinsip dasar demokrasi (kebebasan, keadilan, persaudaraan, dan kemanusiaan) hadir bersamaan dengan proses pembentukan watak bangsa (nation and character building).
Lalu, bagaimana dengan wajah pers nasional kita saat ini? Mengutip Agus Sudibyo (2008), jika pada masa Orde Baru, wajah pers dalam perspektif ekonomi-politik mediaÑlebih terlihat sebagai perpanjangan tangan negara (state centrism), maka pasca 1998 institusi pers lebih terlihat dalam coraknya yang market centrism. Konsep market centrism berangkat dari asumsi bahwa era regulasi negara telah berakhir seiring tampilnya era regulasi pasar. Dalam perspektif ini, negara tak lagi menjadi faktor determinan dalam kehidupan media, namun hukum pasarlah yang menjadi penentu karakter ruang publik media di Indonesia. Dengan kata lain, wajah pers dalam konteks dinamika ekonomi-politik media era reformasi lebih tepat disebut berwatak kolaboratif: berciri market regulation sekaligus state regulation.
Problemnya, berbagai tren dan kasus menunjukkan, era ‘kebebasan pers’ (free press) dalam sebuah konstruksi ‘pers industrial’ (free market) ternyata tak mampu memfasilitasi berbagai aspirasi publik untuk berperan efektif dalam sebuah ruang media yang demokratis; di luar tarikme-narik kepentingan negara dan pasar.
Di era pers berwatak idustrial saat ini, kita tak lagi bisa menemukan watak nasionalisme dalam wajah pers nasional. Mayoritas pers dan industri media penyiaran saat ini nyata telah terkontaminasi oleh watak banal negara dan tabiat predatorik pasar. Pers, kini menghadapi kesulitan serius untuk bertahan dalam sebuah ruang idealisme di antara kepungan negara dan pasar. Peran pers sebagai pilar demokrasi keempat terlihat makin samar. Pers industrial tampaknya lebih enjoy hadir dalam wajahnya yang dilematis, dangkal, artifisial, sloganistis, dan demagog. (waspada)