Artikel
Tuesday, February 24, 2009
Artikel
Proses penegakan hukum masih menjadi sorotan publik karena nuansa 'tebang pilih' dan money politics (permainan politik uang) masih tetap mewarnai perilaku aparat penegak hukum di Indonesia. Hukum belum menjadi payung bagi rakyat secara umum untuk mendapatkan keadilan. Permainan uang dan tekanan politik bagaikan badai yang sangat kuat untuk menggoyahkan sendi-sendi penegakan hukum, sehingga hukum lebih berpihak kepada dua kekuatan eksternal, uang dan politik.
--------------------------
Melalui tiga fungsi utama, legislasi, anggaran dan kontrol, pimpinan dan anggota legislatif seharusnya mampu memposisikan diri sebagai representasi rakyat untuk mencegah penyimpangan dalam penyelenggaraan birokrasi. Tetapi fungsi tersebut tidak bisa dilakukan akibat godaan uang dan kepentingan politik pragmatis-individualistis. Kondisi ini makin tidak menguntungkan rakyat ketika aparat penegak hukum yang memiliki kewajiban menuntun masyarakat guna mendapatkan keadilan, juga ikut berperilaku menyimpang di tengah tekanan kuat badai politik.
-----------------------
Penegakan Hukum Terancam Badai Politik Oleh I Nyoman Rutha Ady, S.H.
HUKUM dan politik di Indonesia saat ini tidak beda dengan iklim atau cuaca yang sulit diprediksi dan bahkan lebih sering mengalami penyimpangan. Dalam pelaksanaan ketatanegaraan, hukum bahkan lebih sering terancam oleh kepentingan politik, sehingga salah satu amanat reformasi yakni penegakan supremasi hukum makin tidak jelas arahnya.
-------------------------
Dalam konteks penegakan hukum, lembaga tinggi Mahkamah Agung (MA) sebagai rujukan pelaksanaan hukum secara nasional justru melakukan penyimpangan dengan membuka peluang upaya hukum peminjauan kembali (PK) atas keputusan hukum terpidana mati kasus bom Bali I Amrozy dan kawan-kawannya. Betapapun kuatnya tekanan eksternal dalam sebuah proses hukum, MA semestinya tidak membenarkan proses PK di atas PK atau mengajukan PK dua kali atas subjek perkara yang sama.
Ranah Politik
Di ranah politik, berbagai kejanggalan juga dilakukan oleh para wakil rakyat yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat. Ketentuan hukum yang menyebutkan pejabat tinggi negara yang diajukan oleh pemerintah harus mendapat persetujuan DPR, ditafsirkan oleh anggota parlemen sebagai peluang untuk melakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) terhadap calon pejabat negara sebelum diangkat.
Padahal, makna aturan hukum yang menyatakan DPR memberikan persetujuan, hanya sebatas menyetujui salah satu dari beberapa calon pejabat negara yang diajukan oleh eksekutif. Fenomena penolakan oleh beberapa fraksi di DPR atas dua orang kandidat Gubernur Bank Indonesia (BI) yang diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuktikan betapa rancunya pemahaman hukum yang ditunjukkan lewat perilaku menyimpang para wakil rakyat di parlemen.
Betapapun niat tulus anggota Dewan untuk menetapkan calon pejabat tinggi negara melalui uji kelayakan dan kepatutan, pada dasarnya hal itu telah melampui makna peraturan perundang-undangan. Bisa ditebak, calon pejabat tinggi yang tidak memiliki akses di institusi parlemen, 'polos' dan 'lugu' dalam berpolitik, pasti akan terlempar dari gedung DPR alias sulit lolos untuk mendapatkan persetujuan. Padahal kualitas, kredibilitas serta kapabilitas calon tersebut untuk menempati jabatannya cukup memadai untuk disetujui.
Proses penegakan hukum masih menjadi sorotan publik karena nuansa 'tebang pilih' dan money politics (permainan politik uang) masih tetap mewarnai perilaku aparat penegak hukum di Indonesia. Hukum belum menjadi payung bagi rakyat secara umum untuk mendapatkan keadilan. Permainan uang dan tekanan politik bagaikan badai yang sangat kuat untuk menggoyahkan sendi-sendi penegakan hukum, sehingga hukum lebih berpihak kepada dua kekuatan eksternal, uang dan politik.
Rakyat yang strata sosial ekonominya tergolong kaya dengan mudah bisa 'membeli' hukum lewat tangan-tangan penasihat hukum, sementara ironisnya komunitas rakyat yang tidak mampu, digusur dari pemukiman kumuh dan lapak-lapak (kios darurat) tempat berjualan dipinggir jalan atas nama penegakan supremasi hukum. Realitas ini makin menggejala tetapi elite politik yang duduk di kursi empuk lembaga legislatif atas nama rakyat, tidak memiliki kepedulian untuk meluruskan ketidakadilan tersebut.